Prof. Sulfikar Amir, akademisi asal Nanyang Technological University (NTU) Singapura, ikut buka suara terkait latar belakang pendidikan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka.
Meski baru beberapa bulan menjabat, Gibran sudah harus menghadapi sorotan tajam publik. Isu lama kembali mencuat—kali ini menyangkut keabsahan dokumen pendidikan yang digunakan saat dirinya maju sebagai calon wakil presiden dalam Pilpres 2024.
Menariknya, keraguan publik atas keabsahan ijazah ini mengingatkan pada kontroversi serupa yang pernah membayangi ayahnya, Presiden Joko Widodo.
Sejumlah pihak menyebut ada kejanggalan dalam data akademik Gibran, terutama yang tercantum dalam dokumen pencalonannya sebagai cawapres.
Terutama pada pendidikan menengah yang menurut data di Komisi Pemilihan Umum RI (KPU), yakni:
Sulfikar Amir pun mempertanyakan, bagaimana Gibran bisa menempuh studi di MDIS, sedangkan pendidikan menengahnya dinilai tidak memenuhi syarat apabila menilik standar di Singapura.
Hal ini dia sampaikan ketika menjadi tamu dalam podcast atau siniar Abraham Samad Speak Up yang diunggah di kanal YouTube milik Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad, Kamis (2/10/2025).
Sistem Pendidikan di Singapura dan Penyetaraan Jenjangnya dengan Sekolah di Indonesia
Awalnya, Associate Professor di bidang Science, Technology, and Society (STS) pada School of Social Sciences NTU ini menjelaskan detail jenjang pendidikan menurut sistem di negara pulau di ujung Semenanjung Malaya tersebut.
Menurut Fikar, sapaan akrab Prof. Sulfikar Amir, sistem pendidikan di Singapura mengikuti sistem pendidikan British atau Inggris.
Siswa di Singapura menyelesaikan jenjang pendidikan dasar selama 6 tahun yang disebut Primary School, sama seperti jenjang sekolah dasar (SD) di Indonesia.
Lalu, setelah lulus dari Primary School, siswa akan lanjut ke Secondary School yang durasinya empat tahun.
Jika sudah selesai Secondary School, maka siswa menempuh tes yang disebut O Level atau Ordinary Level, baru setelah itu mereka punya pilihan berdasarkan nilai tes atau minatnya untuk lanjut pendidikan tinggi.
Siswa yang nilai O Level-nya bagus dan tinggi, biasanya dapat masuk ke A Level atau Advance Level, atau disebut juga Junior College (JC) di Singapura.
Sementara, siswa yang nilai tes O Level-nya rendah tetapi berminat untuk cepat bekerja, bisa masuk ke politeknik dengan durasi studi selama tiga tahun.
"Untuk yang lulus dengan nilai O Level relatif tinggi, mereka biasanya masuk ke A Level atau Advance Level. A Level kalau di Singapura itu disebutnya JC atau Junior College," kata Sulfikar.
"Nah, di Singapura itu banyak Junior College. Ada National Junior College, Temasik Junior College, Pioneer, Jurong, macam-macam ya, Junior College gitu," sambungnya.
"Yang nilai O Levelnya relatif rendah dan punya minat untuk kerja, ya pilihannya adalah Politeknik. Politeknik itu selama 3 tahun dan biasanya setelah itu mereka bisa langsung kerja," paparnya.
Sulfikar pun menjelaskan penyetaraan jenjang pendidikan di Singapura dan Indonesia.
Yakni, Primary School setara dengan SD, Secondary School setara dengan SMP ditambah kelas 1 SMA.
Sementara, yang setara dengan SMA di Indonesia adalah siswa yang sudah lulus Junior College atau A Level.
Di sisi lain, politeknik di Singapura levelnya sejajar dengan sekolah menengah kejuruan atau SMK di Indonesia, dan jika tidak langsung bekerja, masih bisa lanjut kuliah ke universitas jika sudah lulus.
"Nah, kalau kita setarakan di Indonesia ya, Primary School setara dengan SD, Secondary School itu setara dengan SMP plus kelas 1 SMA. Yang selevel atau setara dengan SMA di Singapura ini adalah A Level tadi, Junior College. Sementara, Politeknik itu setara dengan SMK, sekolah kejuruan, baru kemudian mereka bisa masuk universitas," ujar Fikar.
Sulfikar pun menjelaskan, di universitas tempatnya bekerja (NTU), mahasiswa baru yang diterima haruslah siswa yang lulusan A Level atau Junior College atau setara SMA.
"Nah, kebetulan saya itu sempat menjadi koordinator penerimaan mahasiswa baru di jurusan saya di NTU. Jadi, saya tahu gitu anak-anak yang masuk ke program kita itu dari mana saja, dan kita tidak pernah menerima mahasiswa lulusan O Level... harus A Level atau Junior College karena ini yang setara dengan SMA," jelasnya.
Kemudian, Sulfikar menambahkan bahwa ada istilah High School juga di Singapura yang tingkatannya setara dengan Junior College atau A Level alias sepadan dengan jenjang SMA di Indonesia.
"Nah, ada beberapa sekolah di Singapura yang menggunakan istilah High School, yang kalau kita setarakan sama dengan Junior College. Jadi, high school atau SMA itu setara dengan Junior College, dan mereka harus menyelesaikan pendidikan High School atau A level ini sebelum bisa mendaftar ke universitas," kata Fikar.
"Nah, jadi kalau kita lihat rekam pendidikan Gibran, kalau pakai standar Singapura, dia enggak menyelesaikan A Level, artinya tidak setara dengan SMA," ujar Fikar.
"Nah, saya enggak tahu ceritanya bagaimana, dia bisa masuk kuliah di MDIS. Mungkin ada syarat-syarat tertentu yang dia penuhi," sambungnya.
"Tetapi kalau [untuk] masuk ke NTU atau university di Singapura, itu enggak mungkin. Tidak mungkin, karena dia tidak menyelesaikan level yang setara SMA itu," paparnya.
Sumber: tribunnews
إرسال تعليق