Gelombang kritik terhadap Trans7 masih terus bergulir setelah sebuah tayangan televisi mereka dinilai menyinggung tradisi pesantren, khususnya Ponpes Lirboyo.
Praktik yang digambarkan dalam tayangan itu adalah nyabis atau sowan kyai yang identik dengan pemberian amplop sebagai bentuk penghormatan dan permohonan doa.
BREAKING NEWS Viral #BOIKOTTRANS7 di Hari Selasa! Ponpes Lirboyo dan Para Kyai Indonesia Merasa Dilecehkan, Tagar Boikot Trans7 Viral di Media Sosial
— Froggie 🐸 (@FroggieOnee) October 14, 2025
Apa Sebabnya?
Baca Selengkapnya:👇https://t.co/menf2WNugx#BOIKOTTRANSTV #boikot #BoikotDenganIlmu #pesantren #lirboyo… pic.twitter.com/7dkuMJurqA
Tayangan itu memicu perdebatan nasional, apakah tradisi amplop kyai adalah praktik menyimpang, atau justru bagian dari adat keilmuan yang luhur dalam Islam Nusantara?
Kontroversi Bermula dari Tayangan Trans7
Beberapa tokoh menyerukan boikot Trans7 setelah beredar cuplikan program XPose Uncensored di Trans7 yang menyebut:
"Kyai yang kaya raya tapi umat yang kasih amplop...
netizen pun curiga ini bahwa bisa jadi inilah sebabnya sebagian kyai makin kaya raya, mobilnya mewah dengan harga miliaran... sarungnya merek termahal...
Padahal kalau udah kaya raya mah umatnya yang dikasih duit ya nggak sih?
Tapi gimana ya, dengan ngasih amplop pada kyai harapan bisa dapat berkah."
Kalimat itu dianggap meyinggunv martabat kyai dan tradisi pesantren.
Aji Pratama, Gus Miftah, hingga KH. Cholil Nafis turut mengecam keras tayangan tersebut dan mendesak Trans7 meminta maaf.
Aji Pratama dari Arus Informasi Santri (AIS) Nusantara menegaskan:
"Santri bukan komoditas tontonan. Santri adalah subjek kebudayaan."
Sementara Gus Miftah mengingatkan, "Kami santri tidak punya stasiun TV... tapi kami punya adab dan doa."
Apa Itu Tradisi Nyabis atau Sowan Kyai?
Di tengah polemik, publik mulai bertanya, apa sebenarnya tradisi nyabis? Mengapa orang memberi amplop kepada kyai?
Dalam budaya pesantren, nyabis atau sowan berarti mengunjungi kyai untuk meminta doa, restu, atau nasihat.
Tradisi ini lazim ditemukan di kalangan Nahdliyyin (warga NU), yang dikenal sangat menghormati ulama.
Ketika sowan, santri mencium tangan kyai sebagai tanda ta’dzim (hormat), dan terkadang memberikan amplop berisi sedekahsebagai adab menghormati guru.
Banyak orang luar pesantren salah paham, menyangka amplop adalah “biaya wajib” atau “salam tempel”.
Padahal pada kenyataannya, pemberian amplop bukan kewajiban dan tidak pernah ditetapkan jumlahnya.
Ini bukan transaksi ekonomi, melainkan budaya sedekah dalam rangka tabarruk (mencari keberkahan).
Tradisi Ini Pernah Juga Disebut "Money Politik"
Kontroversi soal amplop kyai bukan baru sekali muncul. Sebelumnya, Suharso Monoarfa, Ketua Umum PPP, pernah menyinggung “Amplop Kyai” dalam pidatonya.
Ucapannya menimbulkan kemarahan karena dianggap merendahkan ulama dan tradisi sowan.
Sejak saat itu, tradisi ini bahkan sempat dicurigai sebagai praktik ilegal atau money politik.
Padahal, dalam tradisi keilmuan Islam, pemberian hadiah kepada guru agama bukan hal yang dilarang.
Pandangan Ulama dan Hukum Islam
Dikutip dari laman islamkaffah.id, ulama besar kontemporer Syekh Wahbah az-Zuhaili menjelaskan dalam kitab Subul al-Istifadah bahwa guru agama, imam, khatib, dan muadzin boleh menerima insentif.
Beliau bahkan menilai bahwa tanpa dukungan finansial, syiar agama dapat terbengkalai karena para ulama harus mencari pekerjaan lain.
Dalil yang memperkuat kebolehan ini datang dari hadis sahih riwayat Bukhari:
Seorang sahabat menerima upah seekor kambing karena meruqyah bacaan Al-Fatihah.
Ketika para sahabat lain mempermasalahkannya, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya upah yang paling layak kamu terima adalah (dari bacaan) Kitabullah.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menjadi dasar bahwa menerima pemberian dari amal agama diperbolehkan.
Jika mengikuti kaidah fikih dan tradisi pesantren, selama tidak ada paksaan, tidak ada tarif, dan tidak diminta, pemberian amplop saat sowan kyai adalah boleh. Bahkan dihukumi sedekah yang berpahala.
Masalah baru muncul jika ada kyai yang mematok tarif doa atau menjadikan agama sebagai alat bisnis.
Itu menyimpang dari etika ulama dan generaliasi bahwa semua kyai mencari amplop kini menjadi kontroversial.
Banyak kyai di lingkungan NU justru menggunakan amplop yang diterima untuk pesantren, membeli kitab, membantu santri yatim, atau kegiatan sosial.
Sumber: portalyogya
Posting Komentar